Minggu, 30 Agustus 2009

Harga Diri, Identitas Sosial dan Konflik antar Kelompok

MEMENAJEMENI KONFLIK DALAM SUATU ORGANISASI

Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi dan sosial budaya mendorong perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia diantaranya dalam berkumpuldan hidup berkelompok. Sebagai suatu bentuk kumpulan manusia dengan katanikatantertentu atau syarat-syarat tertentu, maka organisasi telah pula berkembangdalam berbagai aspek termasuk ukuran dan kompleksitas.

Semakin besar ukuran suatu organisasi semakin cenderung menjadi kompleks keadaannya. Kompleksitas ini menyangkut berbagai hal seperti kompleksitas alur informasi, kompleksitas komunikasi, kompleksitas pembuat keputusan, kompleksitas pendelegasian wewenang dan sebagainya.

Kompleksitas lain adalah sehubungan dengan sumber daya manusia. Seperti kita ketahui bahwa sehubungan dengan sumber daya manusia ini dapat diidentifikasi pula berbagai kompleksitas seperti kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas kedudukan dan status, kompleksitas hak dan wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial untuk timbulnya konflik dalam organisasi, terutama konflik yang berasal dari sumber daya manusia, dimana dengan berbagai latar belakang yang berbeda tentu mempunyai tujuan yang berbeda pula dalam tujuan dan motivasi mereka dalam bekerja.

Seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami faktorfaktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di dalam individu maupun konflik antar perorangan dan konflik di dalam kelompok dan konflik antar kelompok. Pemahaman faktor-faktor tersebut akan lebih memudahkan tugasnya dalam hal menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dan menyalurkannya ke arah perkembangan yang positif.


Pengertian

Robbins (1996) dalam "Organization Behavior" menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.

Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus keaarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.


Jenis-jenis Konflik

Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.


Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflikseseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan
kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan
tujuan.
4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan
yang diinginkan.
Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali
menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan.

Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama-sama menarik.
2. Konflik pendekatan ¨C penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada
satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.


Konflik Interpersonal

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karenapertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.

Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.

Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasiorganisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja ¨C manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok.


Konflik antara organisasi

Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.


Peranan Konflik

Ada berbagai pandangan mengenai konflik dalam organisasi. Pandangan tradisional mengatakan bahwa konflik hanyalah merupakan gejala abnormal yang mempunyai akibat-akibat negatif sehingga perlu dilenyapkan. Pendapat tradisional ini dapat diuraikan sebagai berikut :
- Konflik hanya merugikan organisasi, karena itu harus dihindarkan dan ditiadakan.
- Konflik ditimbulka karena perbedaan kepribadian dan karena kegagalan dalam
kepemimpinan.
- Konflik diselesaikan melalui pemisahan fisik atau dengan intervensi manajemen
tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan pandangan yang lebih maju menganggap bahwa konflik dapat berakibat baik maupun buruk. Usaha penanganannya harus berupaya untuk menarik hal-hal yang baik dan mengurangi hal-hal yang buruk. Pandangan ini dapat diuraikan sebagai berikut :
- Konflik adalah suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari interaksi
organisasional dan dapat diatasi dengan mengenali sumber-sumber konflik.
- Konflik pada umumnya adalah hasil dari kemajemukan sistem organisasi
- Konflik diselesaikan dengan cara pengenalan sebab dan pemecahan masalah.
Konflik dapat merupakan kekuatan untuk pengubahan positif di dalam suatu
organisasi.
Dalam padangan modern ini konflik sebenarnya dapat memberikan manfaat yang
banyak bagi organisasi. Sebagai contoh pengembangan konflik yang positif dapat
digunakan sebagai ajang adu pendapat, sehingga organisasi bisa memperoleh
pendapat-pendapat yang sudah tersaring.
Seorang pimpinan suatu organisasi pernah menerapkan apa yang disebutnya dengan "mitra tinju" Pada saat ada suatu kebijakan yang hendak diterapkannya di organisasi yang dipimpinnya ia mencoba untuk mencari "mitra yang beroposisi dengannya". Kadang konflik pun terjadi. Apakah itu menjadi persoalan bagi dirinya ?
"Bagi saya hal itu menjadi hal yang positif, karena saya dapat melihat kebijakan yang dibuat tersebut dari sisi lain. Saya dapat mengidentifikasi kemungkinan kelemahan yang ada dari situ. Selama kita masih bisa mentolerir dan dapat mengendalikan konflik tersebut ke arah yang baik, hal
itu tidak menjadi masalah", ujarnya.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang ditulis oleh Robbins (1996) yang membahas konflik dari segi human relations and interactionist perspective. Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan terjadi. Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi (interpersonal experience) Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya konflik dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan perbedaan serta pembaharuan ke arah
yang lebih baik dalam organisasi. Kesimpulannya konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani

dengan baik sehingga dapat :
- mengarah ke inovasi dan perubahan
- memberi tenaga kepada orang bertindak
- menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
- merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik
Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :

1. Kemantapan organisasi
Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaan nilai dan lain-lain.

2. Sistem nilai
Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.

3. Tujuan
Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.

4. Sistem lain dalam organisasi
Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah.

Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya
Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.

2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat Hal ini memperbesar peluang perbedaan persepsi dan pola bertindak.

3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.

4. Pola interaksi dengan pihak lain Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola

tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.Penanganan Konflik Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :

1. Introspeksi diri
Bagaiman kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya pa yang biasanya digunakan? Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.

2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.

3. Identifikasi sumber konflik
Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.

4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih
yang tepat.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :

a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang ¨C kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yangkalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan ¨Cbawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.

b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.

c. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.

d. Kompromi
indakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama ¨Csama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)

e. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

Kemampuan menangani konflik tentang terutama yang menduduki jabatan pimpinan. Yang terpenting adalah mengembangkan pengetahuan yang cukup dan sikap yang positif terhadap konflik, karena peran konflik yang tidak selalu negatif terhadap organisasi.

Dengan pengembalian yang cukup senang, pimpinan dapat cepat mengenal, mengidentifikasi dan mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan sikap positif dan kemampuan kepemimpianannya, seorang pimpinan akan dapat mengendalikan konflik yang akan selalu ada, dan bila mungkin menggunakannya untuk keterbukaan organisasi dan anggota organisasi yang dipimpinnya. Tentu manfaatnya pun dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.


Kepustakaan

Luthans F. Organizational Behavior, Mc Graw Hill, Singapore, 1981
Miftah Thoha. Kepemimpinan dalam Manajemen. PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1993.
Munandar AS. Manajemen Konflik dalam Organisasi , dalam Seminar Strategi
Pengendalian Konflik dalam Organisasi, Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Jakarta, 987
Robbins, SP. Organizational Behaviour, Prentice Hall, Siding, 1979.
Winardi. Manajemen Konflik (Konflik Perubhan dan Pengembangan), Mandar
Maju, 1994

Penyimpangan Sosial

Penyimpangan Sosial
Demokrasi Indonesia

Disamping hal-hal yang berkenaan dengan asas, visi, misi, serta dasar negara,
dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara berbentuk
Republik yang berkedaulatan rakyat, yang berarti bahwa dalam keseluruhan
penyelenggaraan negara ini harus merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

Penggunaan istilah kedaulatan rakyat di sini merupakan penegasan tentang
pengertian demokrasi yang sering dimaknakan sekedar sebagai kebebasan individu.
Penegasan tersebut memberikan arah bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara harus selalu bertumpu pada kedaulatan rakyat. Rakyat
harus menjadi subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya
rakyat harus memiliki keberdayaan yang penuh, sehingga dapat menegakkan
kedaulatannya. Dan dalam hubungan ini pulalah pemerintah diwajibkan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, Pancasila telah memberikan rumusan yang
jelas, yaitu : “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusya- waratan/perwakilan”.

Dalam sistem ini, demokrasi tidak hanya diartikan sebagai sebuah prosedur dan
juga bukan tujuan. Demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu tegaknya keberdayaan
dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan ke dalam sebuah sistem yang
merupakan alat bagi rakyat dalam menciptakan kesejahteraannya. Rakyat
benar-benar ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam fungsi tersebut rakyat mempunyai dua peran aktif, yaitu:
· melakukan interaksi untuk melahirkan pimpinan yang berfungsi mewakili
komunitasnya;
· menyalurkan aspirasi melalui wakil(2) yang telah dilahirkannya; dengan
demikian setiap pimpinan mempunyai kewajiban untuk mengemban aspirasi rakyat
yang diwakilinya.

Dalam struktur kenegaraan, kedaulatan rakyat itu dijelmakan menjadi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dengan adanya
Lembaga Tertinggi Negara yang terdiri dari sejumlah orang yang kewenangannya
dibatasi oleh UUD tersebut, apabila dilaksanakan dengan benar, dijamin tidak
akan lahir kekuasaan otoriter.

Untuk membentuk MPR, disusunlah infrastruktur yang terdiri dari partai-partai
politik. Wakil-wakil partai politik ini akan terhimpun dalam Dewan Perwakilan
Rakyat yang seluruh anggotanya juga akan menjadi anggota MPR.

Namun disadari bahwa partai-partai politik tidak akan mampu menyerap seluruh
aspirasi rakyat. Oleh karena itu agar aspirasi politik yang bersifat umum itu
dapat diimplementasikan dengan baik, harus ada orientasi kewilayahan dan juga
terhadap fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial. Maka diperlukan wakil-wakil yang
akan membawakan aspirasi kewilayahan yang meliputi aspek sosial dan budaya,
serta fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial.

Yang dimaksud dengan fungsi-fungsi kehidupan sosial adalah kebutuhan/kepentingan
permanen masyarakat, misalnya yang menyangkut produksi, distribusi, pendidikan,
kerohanian, kepemudaan, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka disamping ada wakil-wakil yang berasal dari
partai politik, untuk membentuk MPR yang dapat menyerap aspirasi rakyat secara
keseluruhan perlu dilengkapi dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan
(fungsional). Unsur-unsur yang termasuk Golongan Fungsional (bukan profesional,
juga bukan minoritas) antara lain buruh, tani, nelayan, cendekiawan, rohaniwan,
TNI/Polri, pemuda, budayawan dan sebagainya.
Melalui permusyawaratan rakyat itulah demokrasi Indonesia diselenggarakan.

Pengingkaran
Setelah kita telusuri isi dan jiwa Pembukaan UUD 1945, akan dapat dengan jelas
kita lihat terjadinya penyimpangan-penyimpangan sejak awal Proklamasi
Kemerdekaan hingga dewasa ini. Benih pengingkaran yang tertebar dalam berbagai
penyimpangan tersebut mendapat lahan subur pada dataran yang dibangun Orde Baru.

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru adalah salah satu bentuk pengingkaran yang
masih segar hidup dalam ingatan kita. Dengan semboyan “melaksanakan Pancasila
dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen” Orde Baru telah melakukan penyimpangan
yang menyesatkan. Penyimpangan itu bersifat menyeluruh, mulai dari cara
berpikir, moralitas sampai pola berkonsumsi, yang dilaksanakan melalui penipuan
sejarah, pendistorsian Pancasila, pengembangan pola berpikir pragmatisme dan
pola hidup hedonistik, pembangunan kekuasaan otoriter dan represif, pembangunan
konglomerasi, sampai dengan penyerahan kedaulatan nasional kepada kapitalisme
internasional. Kesadaran politik rakyat dihancurkan melalui floating mass,
sedangkan terhadap mahasiswa dilaksanakan melalui NKK/BKK. Selama lebih dari
tiga puluh tahun bangsa Indonesia telah mengalami character assassination
(pembunuhan watak – penghancuran karakter).

Dewasa ini, di tengah keadaan bangsa Indonesia masih terbenam dalam
keterpurukan sebagai akibat dari kebijakan Orba dan penerusnya, para floating
elite yang lahir sebagai kelanjutan dari dilaksanakannya floating mass, telah
mengobok-obok UUD 1945, yang ujungnya adalah de-ideologisasi.

Kalau Orde Baru telah mendistorsi Pancasila melalui P4, dewasa ini sisa-sisa
Orba bersama para petualang (oportunis) dan profiteur (orang yang hanya mencari
keuntungan) telah merombak pasal-pasal UUD 1945 dan menghapus penjelasannya
dengan dalih melakukan pemurnian demokrasi melalui amandemen.

Di samping banyaknya pasal rancu (saling bertentangan, tidak konsisten maupun
tidak berkualifikasi UUD), perombakan yang mereka lakukan telah melahirkan
pembusukan kelembagaan, pengembangan semangat federalisme/liberalisme/
individualisme, dan pendistorsian terhadap demokrasi. Singkatnya mereka telah
melahirkan UUD baru yang mengingkari jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945, dan
dengan demikian mereka telah menghianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang melakukan amandemen melalui addendum dengan
tetap mempertahan-kan UUDnya yang asli, sisa-sisa Orba bersama petualang dan
profiteur itu telah merombak pasal-pasal UUD 1945 secara substantif dan
menghapus penjelasannya, tetapi secara licik tetap mempertahankan nama UUD 1945
dan Pembukaannya, sebagai upaya untuk menyelimuti pengingkarannya. Langkah
tersebut merupakan tahap awal untuk menggantinya dengan UUD baru! Sebagai
akibatnya, ada dua UUD yang memiliki nama dan Pembukaan yang sama, tetapi
berbeda dalam substansinya. Pada saatnya kelak rakyat dan generasi yang akan
datang akan bertanya, yang manakah UUD 1945 yang sesungguhnya?

Apabila jawabnya adalah hasil perombakan yang dilakukan oleh para elite politik
yang berkonspirasi di MPR, maka bangsa Indonesia akan kehilangan dokumen
historis karya besar founding fathers. Namun kalau keduanya diakui sebagai
realitas yang ada, maka akan ada dua UUD 1945, yang satu adalah UUD 1945 yang
asli, sedang yang lainnya adalah UUD 1945 hasil rekayasa para petualang politik
di MPR, yang isi dan jiwanya mengingkari UUD 1945 yang asli beserta
Pembukaannya. Oleh karenanya sudah sepantasnya kalau UUD baru tersebut disebut
sebagai UUD 1945 palsu.

Dengan telah hadirnya UUD baru sebagai akibat dari dirombaknya batang tubuh dan
dihilangkannya Penjelasan UUD 1945, maka Pembukaan UUD 1945 tinggal menjadi
simbol, sama halnya Pancasila tinggal sebagai sebuah nama ketika didistorsi
melalui P4. Namun diyakini bahwa Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila akan tetap
hidup dalam kalbu rakyat serta semua yang tetap setia kepada cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia akan bergelora kembali, dan setiap bentuk
pengingkaran akan sirna diterjang perjuangan luhur.

PENUTUP
Pembukaan UUD 1945 memberikan acuan yang jelas mulai dari asas pendirian negara
sampai ke dasar dan tatanan penyelenggaraannya. Dalam pelaksanaannya memang akan
sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat penyelenggaranya. Untuk menghindari
bias-bias yang dapat menimbulkan ketersesatan dalam pelaksanaannya diperlukan
pemahaman yang mendalam, jujur dan sungguh-sungguh. Disamping itu, agar
pemahaman kita benar-benar utuh, maka harus difahami pula makna Pancasila
sebagaimana diuraikan oleh Penggalinya, Bung Karno.
Dari alur pikiran yang kita runut dalam Pembukaan UUD 1945, dapat kita tangkap
bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang
berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man), dan
akan dilaksanakan melalui tiga tahapan revolusi, yaitu:
· mencapai Kemerdekaan Penuh, artinya bangsa Indonesia, seperti halnya
bangsa-bangsa lain di dunia, akan berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat, berdasarkan tiga prinsip kemerdekaan :
Ø berdaulat di bidang politik;
Ø berdikari di bidang ekonomi;
Ø berkepribadian di bidang kebudayaan.

· melalui gerbang kemerdekaan itu akan dibangun Sosialisme Indonesia di dalam
negara kesatuan yang demokratis, yaitu masyarakat gotong royong yang adil-makmur
material dan spiritual dalam suatu kehidupan bangsa yang beradab;
· untuk menjaga tegaknya Kemerdekaan Penuh dan tetap terselenggaranya Sosialisme
Indonesia, harus dibangun tata kehidupan Dunia Baru yang adil dan beradab
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masyarakat dunia
yang saling hormat menghormati, dunia baru tanpa ada penindasan bangsa atas
bangsa maupun manusia atas manusia.

Untuk membangun moral serta elan vital revolusioner guna mendukung tercapainya
cita-cita luhur tersebut, harus dilaksanakan pembangunan bangsa dan
kepribadiannya (nation and character building) melalui aksi multi-dimensi oleh
seluruh eksponen bangsa. Pancasila adalah landasan filosofis yang merupakan
dasar dan acuan perjuangan.

Dengan mencermati semakin dalam makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
semakin terasa betapa luhurnya cita-cita bangsa Indonesia, cita-cita untuk
membangun peradaban bangsa dan umat manusia.
Itulah tujuan dari Revolusi Indonesia.


Jakarta, 17 Agustus 2002


SUPLEMEN

HUKUM-HUKUM REVOLUSI

Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar
romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi,
pada pokoknya adalah :

Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan
Revolusi harus tahu siapa lawan dan siapa kawan; maka harus ditarik garis
pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan
terhadap lawan Revolusi;

Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau
“revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi
tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya
penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa
konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarki, dan sebaliknya;
konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti
kompromi, reformisme;

Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita : tahap
nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat
yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung
harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; - inilah dialektik Revolusi;

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol
kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/Tujuan dan
Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan Revolusi
Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Hari-depan Revolusi Indonesia dan
(E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus
setia kepada Program itu;

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat,
yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan
tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya
kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.


BUNG KARNO (TAHUN “VIVERE PERICOLOSO” – 17 Agustus 1964

Kontroversi Pengobatan Alternatif

Aborsi, antara sisi medis dan sisi moral

Sudah banyak artikel, buku, seminar yang mengulas panjang lebar mengenai aborsi, dua pendapat pro dan kontra tidak pernah ada habisnya dalam menyikapi aborsi. Mereka yang pro mengatakan : adalah hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan apakah ia akan meneruskan mengandung janinnya (dari hasil apapun; baik pernikahan resmi, hamil di luar pernikahan maupun korban perkosaan) dan mereka yang kontra berpendapat : adalah bukan hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan kehidupan janin yang dikandungnya, hanya Tuhan-lah yang berhak menentukannya.

Terlepas dari apapun alasan yang diajukan, entah itu demi kebaikan “si ibu muda” yang belum siap menjadi orangtua maupun karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai kehidupan ‘sang anak’ kelak, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Yang menjadi kontroversi adalah sejak usia kehamilan berapakah janin dalam kandungan layak disebut “memiliki” hidup sebagai suatu pribadi? Berbagai pandangan yang berusaha menyoroti kontroversi tersebut akan diutarakan lebih lanjut. Artikel ini akan mengulas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni pandangan secara medis dan secara moral.
Dalam dunia medis, abortus secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yakni abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus provokatus selanjutnya dibedakan menjadi abortus provokatus terapeutik dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus spontan penyebabnya dapat karena faktor maternal (ibu) seperti infeksi, penyakit kronik yang melemahkan ibu, pengaruh hormonal ibu, kekurangan gizi pada ibu (malnutrisi), kelelahan fisik, trauma psikologis, kelainan rahim, kelainan sistem pertahanan (sistem imun). Selain faktor maternal, faktor janin sendiri berperanan, yakni janin yang mengalami kelainan kromosom, sehingga janin tak dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya meninggal dalam kandungan. Pendek kata, abortus spontan terjadi diluar campur tangan manusia.

Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi karena campur tangan manusia, dibedakan menjadi dua yaitu terapeutik/elektif dan kriminalis. Abortus terapeutik dapat dilakukan dengan indikasi medis berikut:
1. Bila kelanjutan kehamilan dapat mengancam jiwa ibu atau menjadi gangguan yang serius bagi kesehatan ibu.
2. Bila kelanjutan kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan persalinan anak dengan cacat bawaan berat atau cacat mental.

Legalitas abortus provokatus terapeutik diatur dalam UU No 23/1992 tentang Kesehatan.
Abortus kriminalis merupakan tindakan pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis, yang lazim dikenal dengan sebutan aborsi/pengguguran. WHO memperkirakan per tahun terjadi sekitar 750.000 sampai 1,5 juta kasus abortus spontan maupun abortus provokatus. Namun jumlah ini bisa jauh lebih besar lagi mengingat kejadian abortus provokatus kriminalis yang tidak mungkin dilaporkan.

Abortus provokatus baik bertujuan terapeutik maupun abortus kriminalis tidaklah tanpa resiko yang sedikit kendati dilakukan oleh tenaga medis profesional sekalipun, seperti dokter spesialis kebidanan dan kandungan misalnya. Resiko akan menjadi semakin besar jika abortus, khususnya abortus kriminalis dilakukan bukan oleh tenaga medis profesional, seperti dilakukan oleh dukun ataupun dilakukan sendiri dengan cara-cara yang tidak aman seperti memasukan alat-alat tertentu ataupun zat kimia tertentu yang tidak steril dan bersifat racun ke dalam vagina.

Resiko dari tindakan abortus provokatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat tindakan abortus yang tidak steril yang sering berakhir dengan kematian dan juga kegagalan ginjal sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan abortus, seperti lisol, sabun, phisohex.

Resiko jangka panjang yang akan dihadapi oleh seseorang yang melakukan abortus provokatus adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan abortus. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), abortus spontan pada kehamilan berikutnya, bayi berat badan lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.

Seorang peneliti, Hogue (1986) memberikan banyak bukti bahwa dilatasi kuat pada leher rahim (cervix uteri) dengan prosedur apapun, pada usia kehamilan berapapun (baik trimester satu ataupun trimester kedua) akan meningkatkan resiko pada kehamilan berikutnya seperti yang telah disebutkan diatas. Adanya resiko placenta previa dan kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya berarti meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yang hebat pula, seperti diketahui bahwa angka kematian ibu hamil di Indonesia terbanyak disebabkan karena perdarahan, sehingga melakukan abortus provokatus akan meningkatkan resiko kematian akibat perdarahan baik pada saat dilakukan abortus maupun kelak jika yang bersangkutan hamil kembali.
Bagaimana agama menyoroti soal aborsi ini? Dalam norma agama (mana pun) tindakan aborsi dilarang. Yang menjadi persoalan adalah adakah batas usia kehamilan tertentu dimana tindakan aborsi masih boleh dilakukan?

Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan.

Dalam Islam ada yang memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Batas 120 hari didasarkan pada hadis empat puluh, dimana Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah (segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging), setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi. Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang serupa.

Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, kehamilan yang terjadi saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut maka hukumnya jika melakukan aborsi menjadi makruh. Penganut mazhab Syafi’i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup. Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan. (Maria Ulfah Anshor;Kompas, 2 Juli 2001)

Dalam agama Kristen, khususnya Katolik, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan. Kapankah kehidupan dinyatakan ada? Tidaklah mudah untuk menjawab persoalan ini, namun Gereja Katolik berpendapat semenjak terjadinya fertilisasi (pertemuan antara sel telur dan sel sperma) itulah kehidupan dimulai. Gereja Katolik menuntut supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat fertilisasi, justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulainya hidup pribadi manusia. Semenjak fertilisasi, zigot yang terbentuk dikatakan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir. Karena martabat itu,manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat mempunyai segala hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan hidupnya menjadi lain. Sebelum lahir, dalam tingkatan janin apapun, ia tetaplah suatu individu yang unik, yang mewakili seluruh “kemanusiannya” dan oleh sebab itu patut dihargai martabatnya.

Sebab itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran. Hidup manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukanlah nilai yang paling tinggi. Hidup manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak. Maka, banyak ahli teologi moral Katolik yang berpendapat bahwa kalau seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan bila kehamilannya berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu juga tidak mampu hidup sendiri diluar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun karenanya hidup anak tidak mungkin diselamatkan. Yang terpenting adalah kehidupan harus dipelihara, jika tidak mungkin memelihara kehidupan ibu dan anak, sekurang-kurangnya hidup satu (ibu)
terus berjalan.

Bayi yang diperkirakan mengalami kecacatan fisik ataupun mental yang berat yang diperkirakan tidak mungkin hidup sekalipun setelah dilahirkan, yang secara medis memenuhi indikasi untuk dilakukan abortus provokatus terapeutik tetaplah tidak diijinkan oleh Gereja Katolik untuk diaborsi, selama keberadaan bayi tersebut tidak membahayakan nyawa si ibu. Alasannya adalah Allah yang menciptakan kehidupan janin itu ,sehingga manusia tidak berkuasa sedikitpun atas hidup-matinya janin itu dan janin yang cacat pun tetap memiliki hak hidup yang sama dan memiliki martabat yang sama dengan janin yang tidak cacat.

Bagaimanakah dengan kehamilan di luar nikah yang dapat menjadi beban psikis bagi si ibu dan keluarganya? Gereja Katolik tetap berpendapat bahwa konflik semacam itu tidak dapat diselesaikan dengan pengguguran. Dalam hal ini harus dituntut sikap wajar dan manusiawi dari lingkungan. Kewajiban keluarga dan lingkungan membantunya memberikan bantuan sosial dan konseling bukan malah menghukumnya, meskipun tindakannya jelas salah.

Jelas disini bahwa Gereja Katolik sangat tegas melarang tindakan aborsi semenjak terjadinya fertilisasi atau pertemuan antara sel telur dan sel sperma, dan Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi (dikeluarkan sebagai anggota Gereja) pada setiap orang Katolik yang aktif terlibat dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398)

Demikian kerasnya Gereja Katolik melarang setiap usaha “penghilangan” makhluk hidup semenjak terjadinya fertilisasi sehingga Gereja Katolik pun dengan tegas melarang setiap bentuk kontrasepsi yang dapat membunuh kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghalangi proses nidasi (perlekatan janin pada rahim). Hal ini dikarenakan sebelum terjadi nidasi, sudah terlebih dahulu ada kehidupan, karena nidasi terjadi sekitar 5 hari setelah terbentuknnya zigot yang merupakan hasil peleburan sel telur dan sel sperma. Kontrasepsi yang diketahui dapat menghalangi nidasi janin pada dinding rahim adalah Alat Kontrasepsi dalam Rahim (spiral), dan alat KB hormonal seperti : pil KB, KB suntik, KB susuk. Dr. David Kingsley,MB,ChB,Cert NFP dari organisasi Respect Life, mengutarakan bahwa pil KB (dan juga alat kontrasepsi hormonal lainnya) bekerja bukan hanya sekedar menghambat ovulasi, namun lebih dari itu, pil tersebut bersifat abortifacient, artinya menggugurkan setiap kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghambat terjadinya nidasi. Karenanya dari sisi moral, khususnya moral Katolik, penggunaan pil KB untuk tujuan kontrasepsi tidaklah dapat dibenarkan. Lebih lanjut Dr. David juga menyebutkan efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan pil KB seperti kanker payudara, kanker leher rahim, penyakit jantung koroner, stroke, trombosis pembuluh darah dan sebagainya.

Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa apapun alasannya, selain demi mempertahankan hidup ibu, aborsi tidaklah dapat dilakukan. Alasannya adalah ketidakpastian kapankah tepatnya kehidupan sebagai suatu pribadi itu dimulai, sehingga melindungi “kehidupan” seawal mungkin yakni semenjak terjadinya fertilisasi amatlah bijak. Melakukan aborsi dengan alasan untuk kebaikan “si ibu” yang belum siap menjadi orangtua tidaklah dapat dibenarkan , melenyapkan anak dalam kandungannya tidaklah serta merta menyelesaikan masalah dan juga tidak menjamin masa depan “si ibu” yang lebih baik, tapi justru dapat menimbulan masalah baru. Masalah tersebut bisa berupa beban psikologis karena terus-menerus dihantui rasa bersalah akibat membunuh bayi dalam kandungannya sendiri yang akan menyebabkan pasien menjadi terus merasa tertekan sehingga akhirnya menjadi depresi dan juga masalah yang berhubungan dengan resiko jangka panjang dari tindakan abortus provokatus seperti yang telah disebutkan di atas.

Salam,

RUU Praktik Keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang – undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional keduanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.

Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan beberapa perawat lulusan pendidikan tinggi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki.

12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, momentum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah masuk ke negara kita.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan tujuan praktik keperawatan?
2. Mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.?
3. Mengapa (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan
4. Apa saja isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan?
5. Apa tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah RUU praktik keperawatan.
1.Mengetahui definisi dan tujuan praktik keperawatan
3.Mengetahui pentingnya Undang-undang Praktik Keperawatan terkait dengan profesi
2.Untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan
4.Mengetahui isi Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan
5.Mengetahui tugas pokok dan fungsi Keperawatan dalam RUU Keperawatan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok .

Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.


2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.

Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002.

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.
Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%.

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.
Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.
Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :
“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Dan pasal 2 berbunyi:
“Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.


2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002.

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.
Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.


2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan:
1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992
Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.


2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan:

1 Fungsi Keperawatan
Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

2Tugas Keperawatan
a.Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan
b.Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat
 Wewenang
b.Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan
c.Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan
c.Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat
d.Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat
e.Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan.

2. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat.

3. 12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang Praktik keperawatan.

4. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat.

5. Indonesia, Laos dan Vietnam adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan. Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar.

6.Perawat Indonesia dinilai belum bisa bersaing ditingkat global.

7.Undang Undang Praktik Keperawatan, terlalu terlambat untuk disahkan, apalagi untuk dipertanyakan. Sementara negara negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah memiliki Undang- Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan tahun yang lalu.

8.Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.

9.Konsil keperawatan bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan).

10.RUU Praktik Perawat, selain mengatur kualifikasi dan kompetensi serta pengakuan profesi perawat, kesejahteraan perawat, juga diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan kepada pemberi dan penerima layanan kesehatan di Indonesia.


3.2Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut:

a.Indonesia memerlukan Undang-Undang yang mengatur segala hal tentang dunia keperawatan. Apalagi akan dibukanya pasar bebas AFTA 2010

b.Diharapkan Menkes proaktif dengan DPR segera membahas RUU agar dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang

c.Para perawat harus mempunyai izin dari suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan izin praktek bagi perawat, sehingga bisa melindungi pasien.

Institusi Sosial, Jaringan Sosial dan Dukungan Sosial

Lembaga Sosial

Menurut John Lewis Gillm dan John Philp Billn pengertian lembaga sosial adalah suatu lembaga sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan pola prilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan.


Aksi Sosial Samsung Cari Dukungan Online

Samsung kembali menyisihkan hasil penjualan perangkat elektroniknya sebanyak US$ 90 ribu untuk diperebutkan tiga yayasan nirlaba terpilih di Indonesia berdasarkan fokusnya pada pengembangan pendidikan anak-anak kurang beruntung dari berbagai usia.

Anda, para pengguna internet pun bisa turut membantu meningkatkan dana tambahan yayasan tersebut dengan cara ikut berpartisipasi menyampaikan dukungan sosial secara online.

"Masing-masing yayasan akan menerima bantuan dasar sebesar US$ 10 ribu. Namun, mereka juga bisa mendapat tambahan dana berdasarkan suara kepedulian yang mereka dapatkan dari masyarakat melalui situs www.samsunghope.org," kata Corporate Marketing Samsung, Shinta Wardiastuti, melalui webconference yang transkripnya detikINET kutip Jumat (12/12/2008).

Ketiga yayasan nirlaba yang dipilih Samsung adalah Kandank Jurank Doank atau KJD, DILTS Foundation, dan Neno Edu Care. Bagi KJD, yayasan yang dipimpin presenter olahraga Dik Doank ini telah dua kali menerima bantuan dari Samsung.

Sementara, bagi Neno Edu Care milik artis Neno Warisman dan DILTS Foundation, bantuan ini merupakan kali pertamanya mereka terima dari vendor elektronik raksasa asal Korea tersebut.

Senada, ketiga pimpinan yayasan tersebut mengaku senang dan berjanji akan memanfaatkan sebaik-baiknya dana yang diterima. Neno Warisman bahkan mengatakan, jika dana bantuan itu tersisa, ia akan membuat video edukasi tentang seks dan remaja.

Sejatinya, Samsung Hope merupakan perluasan program Corporate Social Responsibility yang semula bertajuk Samsung Digital Hope. Program yang telah berjalan sejak 2003 silam itu mulanya ditujukan untuk membantu mengikis jurang kesenjangan digital di negara-negara berkembang.

Dalam program Samsung Hope kali ini, total dana bantuan yang digelontorkan sebanyak US$ 700 ribu untuk 21 yayasan anak di seluruh Oceania dan Asia tenggara termasuk Indonesia. Sementara dalam Samsung Digital Hope tahun lalu, dana US$ 2,2 juta telah dialokasikan untuk sekitar 600 ribu pemuda dan penyandang cacat dari 54 yayasan di wilayah negara yang sama.

Konsep Mobilitas Sosial

Definisi

Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.

Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.

[sunting]
Cara untuk melakukan mobilitas sosial

Secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut :
Perubahan standar hidup

Kenaikan penghasilan tidak menaikan status secara otomatis, melainkan akan mereflesikan suatu standar hidup yang lebih tinggi. Ini akan mempengaruhi peningkatan status.

Contoh: Seorang pegawai rendahan, karena keberhasilan dan prestasinya diberikan kenaikan pangkat menjadi Menejer, sehingga tingkat pendapatannya naik. Status sosialnya di masyarakat tidak dapat dikatakan naik apabila ia tidak merubah standar hidupnya, misalnya jika dia memutuskan untuk tetap hidup sederhana seperti ketika ia menjadi pegawai rendahan.
Perkawinan

Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan melalui perkawinan.

Contoh: Seseorang wanita yang berasal dari keluarga sangat sederhana menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya dan terpandang di masyarakatnya. Perkawinan ini dapat menaikan status si wanita tersebut.
Perubahan tempat tinggal

Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru. Atau dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah, dan mewah. Secara otomatis, seseorang yang memiliki tempat tinggal mewah akan disebut sebagai orang kaya oleh masyarakat, hal ini menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.
Perubahan tingkah laku

Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, orang berusaha menaikkan status sosialnya dan mempraktekkan bentuk-bentuk tingkah laku kelas yang lebih tinggi yang diaspirasikan sebagai kelasnya. Bukan hanya tingkah laku, tetapi juga pakaian, ucapan, minat, dan sebagainya. Dia merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas yang diinginkannya.

Contoh: agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, dia berbicara dengan menyelipkan istilah-istilah asing.
Perubahan nama

Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi.

Contoh: Di kalangan masyarakat feodal Jawa, seseorang yang memiliki status sebagai orang kebanyakan mendapat sebutan "kang" di depan nama aslinya. Setelah diangkat sebagai pengawas pamong praja sebutan dan namanya berubah sesau dengan kedudukannya yang baru seperti "Raden"

[sunting]
Faktor penghambat mobilitas sosial

Ada beberapa faktor penting yang justru menghambat mobilitas sosial. Faktor-faktor penghambat itu antara lain sebagai berikut :

Nelson Mandela, pejuang persamaan hak kulit hitam di Afrika selatan
Perbedaan kelas rasial, seperti yang terjadi di Afrika Selatan di masa lalu, dimana ras berkulit putih berkuasa dan tidak memberi kesempatan kepada mereka yang berkulit hitam untuk dapat duduk bersama-sama di pemerintahan sebagai penguasa. Sistem ini disebut Apharteid dan dianggap berakhir ketika Nelson Mandela, seorang kulit hitam, terpilih menjadi presiden Afrika Selatan
Agama, seperti yang terjadi di India yang menggunakan sistem kasta.
Diskriminasi Kelas dalam sistem kelas terbuka dapat menghalangi mobilitas ke atas. Hal ini terbukti dengan adanya pembatasan suatu organisasi tertentu dengan berbagai syarat dan ketentuan, sehingga hanya sedikit orang yang mampu mendapatkannya.

Contoh: jumlah anggota DPR yag dibatasi hanya 500 orang, sehingga hanya 500 orang yang mendapat kesempatan untuk menaikan status sosialnya menjadi anggota DPR.
Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi seseorang untuk berkembang dan mencapai suatu sosial tertentu.

Contoh: "A" memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena kedua orangtuanya tidak bisa membiayai, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya.
Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap prestasi, kekuasaan, status sosial, dan kesempatan-kesenmpatan untuk meningkatkan status sosialya.

[sunting]
Beberapa bentuk mobilitas sosial

[sunting]
Mobilitas sosial horizontal

Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya.

Contoh: Pak Amir seorang warga negara Amerika Serikat, mengganti kewarganegaraannya dengan kewarganegaraan Indonesia, dalam hal ini mobilitas sosial Pak Amir disebut dengan Mobilitas sosial horizontal karena gerak sosial yang dilakukan Pak Amir tidak merubah status sosialnya.

[sunting]
Mobilitas sosial vertikal

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking).

[sunting]
Mobilitas vertikal ke atas (Social climbing)

Mobilitas vertikal ke atas atau social climbing mempunyai dua bentuk yang utama
Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, di mana kedudukan tersebut telah ada sebelumnya.

Contoh: A adalah seorang guru sejarah di salah satu SMA. Karena memenuhi persyaratan, ia diangkat menjadi kepala sekolah.
Membentuk kelompok baru. Pembentukan suatu kelompok baru memungkinkan individu untuk meningkatkan status sosialnya, misalnya dengan mengangkat diri menjadi ketua organisasi.

Contoh: Pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.

[sunting]
Mobilitas vertikal ke bawah (Social sinking)

Mobilitas vertikal ke bawah mempunyai dua bentuk utama.
Turunnya kedudukan. Kedudukan individu turun ke kedudukan yang derajatnya lebih rendah.

Contoh: seorang prajurit dipecat karena melakukan tidakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya.
Turunnya derajat kelompok. Derajat sekelompok individu menjadi turun yang berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.

Contoh: Juventus terdegradasi ke seri B. akibatnya, status sosial tim pun turun.

[sunting]
Mobilitas antargenerasi

Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya.

Contoh: Pak Parjo adalah seorang tukang becak. Ia hanya menamatkan pendidikannya hingga sekolah dasar, tetapi ia berhasil mendidik anaknya menjadi seorang pengacara. Contoh ini menunjukkan telah terjadi mobilitas vertikal antargenerasi.

[sunting]
Mobilitas intragenerasi

Mobilitas intragenerasi adalah mobilitas yang terjadi di dalam satu kelompok generasi yang sama.

Contoh: Pak Darjo adalah seorang buruh. Ia memiliki anak yang bernama Endra yang menjadi tukang becak. Kemudian istrinya melahirkan anak ke-2 yang diberi nama Ricky yang awalnya menjadi tukang becak juga. tetapi Ricky lebih beruntung sehingga ia bisa mengubah statusnya menjadi seorang pengusaha sementara Endra tetap menjadi tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan adiknya di sebut Mobilitas Antargenerasi.

Stratifikasi Sosial dan Persamaan Derajad

Stratifikasi Sosial

Adalah sistem pmbedaaan individu atau kelompok dalam masyarakat, yang menempatkannya pada kelas-kelas social yang berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu lapisan dengan lapisan lainnya. Setiap individu di dalam masyarakat memiliki status social yang berbeda-beda. Perbedaan status social ini diawali dengan adanya sikap menghargai hal-hal tertentu, baik yang berupa materi (harta benda) maupun bukan materi. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap suatu hal akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lain sehingga setiap orang yang memilikinya akan menjadi upaya untuk menyamankan kedudukan dan perlakuan terhadap seseorang, dalam kenyataan sehari-hari sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dapat diwujudkan

Pengertian Menurut Pitrim A. Sorokin, sistem stratifikasi social adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat , yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah.
Dasar dan inti sistem stratifikasi masyarakat adalah adanya ketiakseimbangan pembagian hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu-individu atau kelompok-kelompok dalam suatu sistem social.

Pengertian Menurut Soerjono Soekamto, stratifikasi social adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertical.
Pada umumnya, stratifikasi social didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkaian usaha perjuangan berdasarkan kepiawaian seseorang dalam melangsungkan interaksinya di dalam masyarakat.

Macam-macam Stratifikasi Sosial
Dibedakan menajadi 2, yaitu:
Berdasarkan status yang diperoleh secara alami:

· Stratifikasi Berdasarkan Perbedaan Usia (Age Stratification)
Dalam stratifikasi social berdasarkan usia ini, umumnya anggota masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Pada kelompok masyarakat tertentu, anak tertua mempunya status lebih tinggi dari pada anak yang lebih kecil atau muda.

· Stratifikasi Berdasarkan Senioritas
Senioritas menyangkut usia dan jenjang pengalaman akan sesuatu hal kenaikan pangkat atau golongan. Untuk mengisi posisi tertentu, diutamkan karyawan yanglbih tua atau lebih lama masa kerjanya. Bahkan sering terjadi seorang yang lebih tua dijadikan ketua atau guru tanpa memandang kemampuan sesungguhnya yang dimiliki orang tsb.

· Stratifikasi Berdasarkan jenis Kelamin
Perbedaan status social pada kebanyakan kelompok masyarakat juga dapat disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin. Perbedaan status ini sangat dipengaruhi oleh adat / tradisi, misalkan ajaran mengenai harkat wanita dan pria dalam pergaulan sehari-hari, pria selalu disanjung dengan sebutan seorang “pemimpin”, upah kerja buruh pria lebih tinggi dari upah kerja buruh wanita meskipun dengan produktivitasnya dan jam kerja yang sama.

· Stratifikasi Berdasarkan Kekerabatan
Pada umumnya dalam suatu sistem kekerabatan terdapat perbedaan hak dan kewajiban antara ayah, ibu, anak, serta cucu. Oleh sebab itu, posisi merak secara hieraki juga akan memiliki status social yang berbeda atau berada pada tingkatan hak dan kewajiban yang berbeda-beda.

· Stratifikasi Berdasarkan Keanggotaan dalam kelompok Tertentu
Stratifikasi ini terjadi dalam kelompok etnik dan ras tertentu, yang berbeda-beda hak dan kewajibannya. Sehubungan dengan hal diatas, sering kita jumpai suku, agama, dan warna kulit lainya.


Berdasarkan status yang diperoleh melalui serangkaian usaha.

· Stratifikasi Sosial dalam Pendidikan
Orang-orang yang mampu menyelesaikan pendidikan formal sampai jenjang yang lebih tinggi umumnya memperoleh hak dan kewajiban yang lebih beragam, sehingga status social yang diperolehnya-pun akan lebih beragam. Sehubungan dengan itu, jelas bahwa tingakat pendidikan seseorang atau kelompok tertentu aka membedakan hak dan kewajibannya dengan individu atau kelompok lain, yang pada akhirnya akan menentukan kelas social yang mereka tempati:

Stratifikasi dalam Bidang Pekerjaan
Stratifikasi ini sangat tampak pada instansi organisasi yang dikelola secara modern, dimana terdapat kedudukan yang berbeda-beda untuk pekerjaan sejenis. Misalnya, stratifikasi antara seseorang manajer dengan pelaksana administrasi (staff), asisten dosen dengan guru besar (professor) di perguruan tinggi, terutama dengan perwira dalam jenjang kepangkatan militer.

Stratifikasi dalam Bidang Ekonomi
Stratifikasi ini sangat bergantung pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang bersangkuta. Kriteria “orang kaya” di kota metropolitan sangat berbeda dengan “orang kaya” di kota pedesaan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stratifikasi

Kekayaan
Adalah criteria ekonomi, maka orang-orang yang berpenghasilan tinggi atau besar akan menempati lapisan social yang tinggi pula. Contoh, seorang pengusaha yang sukses, akan berada pada lapisan kelas atas. Kondisi ini menghasilkan kelas social yang disebut “the have” dan “the have not” atau orang-orang kaya dan orang-orang miskin.

Kekuasaan (Power)
Orang-orang yang memperoleh kesempatan menjadi pemimpin, baik melalui suatu mekanisme pemilihan umun maupun secara turun-temurun (pada Negara sistem monarki), akan menempati kelas social yang lebih tinggi.

Kehormatan/kebangsawanan
Golongan bangsawan, baik pada masyarakat tradisional maupun pada masyarakat modern, selalu menduduki kelas social yang lebih tinggi. Biasanya orang keturunan kelas bangsawan ini akan menjadi orang berada dan menyandang status social orang tuanya tersebut.

Pendidikan
Pada masyarakat yang mulai berkembang atau masyarakat pra-industri, pendidikan menjadi suatu amat penting, sehingga orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi secara otomatis akan menempati lapisan social yang tinggi pyula. Misalnya, kelompok sarjana dinegara manapun mempunyai status social yang lebih tinggi daripada kelompok yang hanya menyelesaikan jenjang pendidikan menengah dan kejuruan.


Sifat-sifat Stratifikasi Social

Berdasarkan sifatnya terbagi menjadi:

Stratifikasi Sosial Terbuka
Di dalam stratifikasi social terbuka (open stratification), kelas-kelas social tidak bersifat tertutup, artinya seseorang dapat saja masuk ke dalam kelas social tertentu yang dinginkan ataupun keluar setelah mencapai kelas social yang lebih tinggi. Seseorang dapat pula dikeluakan apabila tidak sanggup melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kelas social yang disandangnya.
Sistem stratifikasi social pada masyrakat terbuka didorong oleh beberapa factor sebagai berikut:

Perbedaan ras dan sistem nilai budaya (adapt istiadat)
Perbedaan ini menyangkut warna kulit, bentuk tubuh, dan latar belakang etnik.

Pembagian tugas (spesialisasi)
Pembagian tugas yang semakin jelas hamper semua masyarakat menghasilkan spesialisasi (kekhususan) dalam bidang-bidang tertentu.

Kelangkaan hak dan kewajiban
Apabila pembagian atau alokasi hak dan kewajiban tidak merata, maka akan terjadi kelangkaan yang menyangkut stratifikasi social di dalam masyarakat.

Stratifikasi Sosial Tertutup
Pada sistem stratifikasi social tertutup (closed stratification), terdapat pembatasan terhadap kemungkinan pindahnya kedudukan seseorang dari suatu lapisan ke lapisan social lainnya. Jadi, dalam sisitem stratifikasi social tertutup bersifat tetap. Satu-satunya jalan supaya berada pada suatu lapisan kelas tertentu adalah melalui kelahiran. Pada stratifikasi ini, gerak social tidak dapat terjadi karena seseorang tidak dapat naik, atau bahkan turun ke kelas social lainya. Misalnya, stratifikasi social yang berlaku pada sisitem kasta dalam agama Hindu di India.
Pada sisitem kasta, kedudukan seseorang sudah ditentukan berdasarkan kelahiran dan biasanya berlaku turun-temurun. Seseorang yang dilahirkan dengan kasta tertentu akan sulit untuk berpindah kedudukannya menjadi kasta lain yang lebih tinggi. Namun, untuk turun kasta dimungkinkan terjadi jika seseorang melakukan perbuatan tercela atau melanggar adapt sehingga ia diturunkan kastanya sebagai bentuk hukuman.

Praktik Mandiri Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2009


KATA PENGANTAR

Puji syuukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat Iman & Islam kepada penulis sehingga karya tulis yang berjudul ” Praktik Keperawatan Mandiri ” dapat
diselesaikan dengan lancar dan sesuai rencana.

Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan penjelasan secara lengkap & pengetahuan tentang Praktik Keperawatan Mandiri.

Dalam penyelesaian karya ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu si penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membatu penulisan , yaitu:
1.Bpk. Sugeng Mashudi, Skep Ns, selaku dosen Ilmu Sospol dan Masalah Kesehatan
2.Teman- teman dari kelompok 2
3.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini belum sempurna. Saran dari kritik dari pembaca sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini bermanfaat kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya perawat-perawat Indonesia.


Surabaya, April 2009
Kelompok 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik dalam maupun luar negeri sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. (KepMenKes RI No.1239 Tahun 2001). Sebagai suatu profesi, perawat bertanggung jawab memberikan pelayanan perawatan sesuai dengan wewenang yang dimiliki secara mandiri atau berkolaborasi. Hal ini tersebut dimungkinkan karena perawat memiliki ilmu dan kiat keperawatan yang mendasari praktik profesionalnya. Tenaga keperawatan sekarang, tidaklah beda dengan seseorang bidan atau dokter, yang bisa membuka tempat praktik pelayan perawatan kesehatan. Dari beberapa hasil penelitian, bahwa di Indonesia keperawatan di rumah berkembang dengan pesat yang didukung oleh faktor ekonomi yaitu semakin tingginya biaya pelayanan di rumah sakit. Namun, sebenarnya perawat tidak diperbolehkan membuka praktik keperawatan mandiri karena peraturannya masih diatur dalam surat KepMenKes 1239 dan saat ini masih berupa RUU yang belum mendapatkan pengesahan dari DPR.

Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, praktik keperawatan adalah tindakan pemberian asuhan perawat profesional baik secara mandiri atau kolaborasi, yang disesuaikan dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu keperawatan (Zaidin Ali : 12). Perawat sering kali melakukan tindakan keperawatan yang seharusnya dilakukan oleh dokter. Perawat diibaratkan pembantu dokter yang harus melakukan tindakan sesuai dengan perintah dokter. Kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut belum maksimal , apalagi RUU tentang praktik keperawatan belum juga mendapat pengesahan dari DPR. Di instansi pemerintah, gaji perawat Rp 300.000,00 – Rp 1.500.000,00/bulan, jauh di bawah gaji dokter yang tiap bulannya dari Rp 1.500.000,00–Rp 3.000.000,00. Padahal kebutuhan sehari–hari perawat belum cukup terpenuhi dengan gaji tersebut. Jika praktik keperawatan mandiri tidak diperbolehkan, maka di masa akan datang nasib para perawat sangat memprihatinkan dan kurang terjamin kelayakan hidupnya.

Pada era sekarang ini, perawat kesehatan tidak identik lagi dengan pembantu dokter masa lalu. Eksistensi dan kredibilitasnya, diakui berbagai kalangan telah maju dan berkembang menjadi kelompok profesional sehingga bisa membuka praktik mandiri di rumah. Beberapa alasan mengapa keperawatan kesehatan di rumah merupakan alternatif yang banyak diminati masyarakat antara lain, lebih hemat biaya, pemberdayaan keluarga dalam asuhan klien lebih optimal, lingkungan memberikan efek yang teraspeutik dan memberikan kesempatan bagi kasus tertentu yang memerlukan rawat lama misalnya penyakit kronis.

Melihat kepada kenyataan – kenyataan yang tergambar di atas maka praktik keperawatan mandiri dapat dilakukan oleh perawat professional yang mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan keterampilan interpersonal yang dapat memberikan pelayanan kesehatan utamanya kepada individu, masyarakat secara efektif dan terjangkau.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian praktik keperawatan mandiri ?
1.2.2 Apakah tujuan praktik keperawatan mandiri ?
1.2.3 Apa sajakah unsur – unsur praktik keperawatan mandiri ?
1.2.4 Bagaimanakah model keperawatan dalam Home Care ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan pengertian praktik keperawatan mandiri
1.3.2 Menjelaskan tujuan praktik keperawatan mandiri
1.3.3 Menjelaskan unsur - unsur praktik keperawatan mandiri
1.3.4 Menjelaskan model keperawatan dalam Home Care?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Praktik Keperawatan Mandiri

Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

2.2.Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri
Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi empat area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb, 1999), yaitu :

1.Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
2.Pencegahan penyakit
3.Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
4.Pemulihan kesehatan (Health Restoration), dan
5.Perawatan pasien menjelang ajal.

Peningkatan Kesehatan
Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.

Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan memerlukan :
1.Pendidikan untuk publik atau masyarakat dan individu
2.Perundang-undangan atau kebijakan yang mendukung
3.Hubungan interpersonal dengan klien secara langsung

Area keperawatan yang melibatkan perawat meliputi :
1.Mendorong dan mengadakan suatu latihan fisik secara periodik dan pemantauan terhadap proses penyakit (mis.hipertensi, diabetes militus dan kanker).
2.Memimpin pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pameran kesehatan dan program kesehatan mental.
3.Mendukung undang-undang yang ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan dan program perlindungan anak dan.
4.Peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja, dll.


Pencegahan Penyakit
Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan fungsi individu secara optimal.

Aktivitas atau kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain sebagai berikut :
1.Melakukan program pendidikan di rumah sakit, misalnya perawat ibu hamil, program melarang atau menghindari rokok, seminar ”mengurangi atau mencegah stres” dll.
2.Program umum dan dasar yang dapat meningkatkan gaya hidup sehat, misalnya melakukan senam aerobik, berenang atau program kebugaran.
3.Memberikan informasi tentang kesehatan, makanan yang sehat, olah raga dan lingkungan yang sehat melalui liflet, media massa atau media elektronik.
4.Menyediakan pelayanan keperawatan yang dapat menjamin kesehatan ibu hamil dan kelahiran bayinya dengan sehat.
5.Memantau tumbuh kembang bayi dan balita.
6.Memberikan imunisasi.
7.Melakukan pemeriksaan untuk medeteksi tekanan darah tinggi, kadar kolesterol, dan kanker.
8.Melakukan konseling mengenai pencegahan akibat kekurangan nutrisi dan penghentian rokok.

Peran perawat dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1.Bertindak sebagai model peran dalam berperilaku serta bergaya hidup sehat.
2.Mengajarkan klien tentang strategi keperawatan dan usaha meningkatkan kesehatan, misalnya dengan cara perbaikann gizi, pengendalian stres, usaha untuk membina hubungan yang baik dengan sesama.
3.Memengaruhi klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
4.Menunjukkan klien cara pemecahan masalah yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif.
5.Menguatkan perilaku peningkatan kesehatan pribadi dan keluarga.

Pemeliharaan Kesehatan (Health maintenance)
Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.
Tiga perkembangan pemeliharaan kesehatan :
1.Mencoba mengidentifikasi gejala penyakit kronis sebelum penderita mengidapnya, misalnya melakukan pemeriksaan fisik secara teratur, untuk usia di atas 35 tahun.
2.Meningkatkan ketertarikan terhadap masalah kesehatan sehubungan dengan perubahan struktur sosial masyarakat.
3.Ketertarikan pada faktor lingkungan sehubungan dengan penyebab penyakit karena stres.

Pemulihan kesehatan (Health Restoration)
Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.
Kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kesehatan meliputi hal-hal berikut :
1.Memberikan perawatan secara langsung pada individu yang sedang sakit, misalnya dengan memberikan perawatan fisik.
2.Memberikan perawatan pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental.
3.Melakukan diagnostik dan pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit.
4.Merencanakan pengajaran dan rehabilitasi pada pasien-pasien tertentu, misalnya pda pasien stroke, serangan jantung, artritis.


Perawatan Pasien Menjelang Ajal
Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.
Lingkup praktik keperawatan pada dasarnya sangat berkaitan dengan kompetensi lulusan. Pendidikan profesional keperwatan yang diharapkan mampu berperan atau mengembangkan fungsi perawat profesional baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, pengelola, maupun peneliti.


2.3.Unsur-unsur Praktik Keperawatan Mandiri

Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :

1.Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke profesi lain.

2.Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.

3.Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping pengobatan.

4.Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.

5.Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua level.


2.4 Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)

Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian “home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).


Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah

Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperwatan di rumah dapat merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan untuk memperoleh pelayanan.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

1.Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di rawat di rumah atau tidak.

2.Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah, kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya, dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran, serta jangka waktu pelayanan.

3.Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh koordinator kasus.

4.Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan kesepakatan.
Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :
1.Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.
2.Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi (Informed Consent).
3.Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan haknya dalam menerima pelayanan.


Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.
Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :
1.Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.

2.Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang diberikan.

3.Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara berkelompok.

4.Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.

5.Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.


Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :

1.Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

2.Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.

3.Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.


BAB III
PENUTUP

3.2.Simpulan

Praktik Keperawatan Mandiri merupakan salah satu peluang, tetapi harus dicermati dengan diundangkannya undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang praktik keperawatan, pelaksanaan praktik keperawatan harus melaksanakan praktiknya dengan bertanggung jawab dan berkualitas, sehingga dapat melindungi keselamatan klien, dan akan terhindar dari tuntutan.

Pelayanan Keperawatan di rumah (Home Health Care) merupakan bentuk praktik keperawatan mandiri yang dapat diberikan oleh seseorang perawat professional sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Praktik keperawatan mandiri ini merupakan sumber yang paling memungkinkan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena tenaga keperawatan adalah tenaga kesehatan professional yang paling banyak tersebar sampai ke pelosok-pelosok.


3.3.Saran

Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan mandiri, harus memenuhi kriteria dibawah ini :

1.Meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh ogranisasi profesi dan lembaga lain yang diakteditasi oleh organisasi profesi. (Sesuai RUU tentang praktik keperawatan pasal 26).

2.Mempunyai keterampilan intelektual, keterampilan teknikal, dan ketrampilan interpersonal yang dapat memberikan kesehatan secara efektif dan terjangkau.

3.Dapat menjalankan perannya secara profesional dalam praktik keperawatan yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan, komunikasi, kolaborasi, pendidik, advokat, konselor, pembawa perubahan, pemimpin, manajemen dan peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. 2001. Dasar- Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta:Widya Medika.
Arwani, Suprianto. 2005. Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta : EGC.
Cazalas, Mary W. 1983. Nursing and the law, ed 3rd, Aspek Publication, Maryland.
Gullack, Robert. 1983. What is a Nurse Means When she says lam profesional, RN : 29 september.
Hidayat, A. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keparawatan, Jakarta : Salemba.
KhonKe, Zimmern, Greenidge. 1974. Independent Nurse Practioner. Trained Press : Garden Grove.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC.
Priharjo, R. 1995. Praktik Keperawatan Profesional. Jakarata : EGC.
Potter dan Perry. 1989. Fundamentals If Nursing Concepts, Process and Practice. Edisi 2. st, Louis : Mosby.
Reilly, Dorothy dan Oberman, Marylyn. 2002. Pengajaran Klinik dalam Pendidikan Keperwatan. Jakarata : EGC.
Santoso Imam Nugroho. 1992. Development of Nursing Education on Diploma Program, paper presented in new Direction In Nursing Education, Symposium and Workshop, UGM. Makalah tidak di publikasikan.
Siswanto, 2009. Tren and Development of Nursing Service Demand in Globalization Era, Syimposium Nasional Keperawatan, UNAIR. Makalah tidak di publikasikan.
Yani, Akhir. 2008. Peran Ners dalam Kemandirian Praktik Keperawatan pada berbagai tatanan pelayanan keshatan, khususnya rumah sakit mengkontribusi pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan merata. fik-umsurabaya.co. id. 11 maret 2009.

Antoni, putra. 2008. Rancangan Undang-undang praktik keperawatan. Wordpress. Com. 17 marat 2009.
Helwiah. 2004. Home care sebagai bentuk praktik mandiri perwat di rumah sakit dalam jurnal keperawatan Universitas Padjadjaran.Bandung. PSIK-FK-Unpad Bandung. co.id. 11 maret 2009.

Lampiran 1

Daftar Petugas Presentasi
Penyaji:
1.Budi Utomo
2.Dendi Eko Cahyo
3.Enniq Mazayudha
4.Faridatul Istibsaroh

MC :
1.Chandra Cahya Setia Budi

Moderator :
1.Chairul Fadli

Notulis :
1.Denta Ardila Sari

Fasilitator :
1.Agus Dwi Laksono
2.Ciputra Aditya
3.Khoirul Anwar

Lampiran 2
KepMenKes RI No. 1239 tahun 2001, berisi :
“ Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Lampiran 3
Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Keperawatan

Oleh:
Kelompok 2
Ketua: Denta Ardilasari NIM : 08600013
Anggota:
1.Agus Dwi L NIM : 08600004
2.Budi Utomo NIM : 08600008
3.Chairul Fadli NIM : 08600009
4.Chandra Cahya SB NIM : 08600010
5.Ciputra Aditya NIM : 08600011
6.Dendi Eko Cahyo NIM : 08600012
7.Enniq Mazayudha NIM : 08600017
8.Faridatul Istibsaroh NIM : 08600019
9.Khoirul Anwar NIM : 08600027